x

Sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono X

Komunitas Pers Indonesia yang lahir sebagai pelopor perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru ini, tentu kini masih memiliki "ruh" pembaharuan dan perlawanan terhadap setiap rezim, selama ini menyangkut kepentingan public. Dalam hubungan ini, proses demokratisasi tidak akan berjalan tanpa adanya hak kebebasan memperoleh informasi.

Dengan hak kebebasan memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi, media massa adalah sebuah majelis yang memiliki peran besar bagi kepentingan publik. Diakhir abad ke 18, Edmud Burke, filsuf asal Irlandia, bahkan sudah mendukung julukan pers sebagai institusi yang
"lebih penting dari majelis - majelis lainnya"
.

Dengan peran strategisnya seperti itu, konsekuensinya AJI punya tanggungjawab menjalankan fungsi pelayanan informasi public yang sehat, berdasarkan Undang-undang tentang penyiaran, yaitu Diversity of Content dan Diversity of Ownership. Tetapi dengan mencermati riset Yanuar Nugroho, Diversity of Ownership itu perlu dipertanyakan. Karena ada 481 perusahaan media yang dimiliki 40 media penyiaran. Oleh karena itu, dikhawatirkan Diversity of Content pun tidak bisa terwujud untuk meng-cover both sides secara adil.

Justru disinilah peran AJI diperlukan untuk lebih menajamkan investigating report dan spesialisasi kepakaran dibidang-bidang lainnya.

Kapabilitas yang spesialis itu bisa digunakan untuk “membedah” banyak kasus korupsi yang sudah dalam taraf memprihatinkan. Dari seminar bertajuk : The Media’s Role in Curbing Corruption, kepedulian media massa untuk ikut mengikis korupsi, amat diperlukan.

Menurut data Bank Dunia, Indonesia menempati posisi terbawah dari tiga Negara Asia Tenggara dalam soal keterbukaan penelitian dokumen. Padahal, jurnalisme investigatif didasarkan atas transparansi fakta dari dokumen-dokumen tersebut. Namun juga diakui, jurnalisme investigatif memiliki tantangan yang beresiko tinggi.

Beberapa kasus diberbagai Negara seperi Brazilia, Argentina, bahkan Kanada yang demokratis sekalipun acapkali mengancam, bahkan merenggut jiwa para jurnalis. Kenyataan yang sama juga dialami oleh beberapa jurnalis Indonesia, seperti halnya wartawan Udin, yang sampai saat ini kasusnya tetap menjadi ‘dark number’ penuh misteri.

Dalam hal ini, AJI bisa bercermin kepada para pendahulu bangsa yang juga berjuang melalui media pers. Mereka menyatakan, jika di masa revolusi Pers Nasional netral, sama saja dengan mengkhianati nasionalisme. Karena pergerakan kemerdekaan dan pers merupakan dua kekuatan yang saling membutuhkan. Tetapi kini Pers Indonesia telah menjadi sebuah indsutri media yang menggurita. Dengan sifat bawaannya sebagai entitas bisnis, pers juga terikat hukum pasar dengan menjadikan berita sebagai komoditi.

Bukan masalah pers menjadi indsutri, jika dikelola professional, mematuhi kode etik jurnalistik, tetap memahami tugas pers dan bukan penganut “teologi oplah” yang membela kepentinga bisnis secara berlebihan dengan mengabaikan “kebenaran dan keadilan” dan suara hati nurani rakyat”.

Perkembangan teknologi menyebabkan terjadinya banjir informasi yang bisa membingungkan. Insan pers perlu memiliki keterampilan untuk memilah informasi yang benar dan penggunaannya secara tepat. Hal ini bisa diantisipasi jika setidaknya mereka memiliki sumber pengetahun dasar yang terkait. Ibarat pepatah jawa : “ngangsu apikulan warih”. Sebagai organisasi profesi jurnalistik, tentu AJI memiliki cukup beragam pustaka sebagai rujukan pembanding para jurnalisnya. Sehingga kekhawatiran “salah kutip” sumber bisa terhindarkan.

Memang, menurut teori klasik, pers harus bersikap objektif dan ‘tidak berpihak’. Dalam arti, secara substantif tidak berpihak pada kepentingan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Bahkan pers, pers dianggap tidak etis jika berpihak kepada pelaku KKN kelas kakap, pelanggar HAM berat, dan mafia peradilan. Oleh sebab itu, hendaknya AJI juga tidak sekadar sebagai distributor informasi saja, tetapi  harus ada upaya kritis untuk mencerdaskan public, baik dalam aspek intelektual-akademik maupun secara budaya.

Pemilu 2014 telah mempopulerkan budaya politik populis, dimana popularitas dan elektabilitas kandidat dipoles melalui iklan, yang bisa lebih besat dan indah dari sosok aslinya. Menjaga citra, dalam budaya Jawa disebut ‘jaga praja’, yang biasanya menimbulkan kondisi yang “lebih besar pasak daripada tiang”.

Dalam budaya politik populis, “dagangan” yang dijual harus dikemas agar menarik “pembeli”. Setuju atau tidak dengan cara-cara liberal ini, realitas inilah yang marak dalam arena kampanye Pemilu 2014 nanti. Tak disangsikan, berbagai media massa akan saling berebut klien.

Dalam politik pencitraan, peran media massa sangat penting karena pemilu menjadi seakan hanya arena menang-kalah dalam pencitraan kandidat. Tetapi apakah citra itu merupakan representasi keadaan yang sebenar-benarnya? Yang utama, citra memang merupakan representasi riil yang “sesungguhnya”.

Seorang calon yang “dermawan” diwaktu kampanye, juga dermawan dalam kehidupan sehari – hari sebelum dan setelah kampanye usai, meski ia tak terpilih. Selain cermin realistas, citra adalah “panggung depan” calon, yakni sisi kehidupan yang “baik-baik” yang sengaja ditampakkan. Citra bisa juga menumpang pada ideology tertentu, misalnya pro ekonomi kerakyatan dan menolak paham neoliberalisme.

Membingkai realistis ini hanya efektif dilakukan oleh media yang memiliki fungsi melipatgandakan pesan. Dalam masa kampanye, bahkan sebelumnya, para calon tentu melakukan pelbagai kegiatan untuk meningkatkan popularitasnya. Caranya dengan “menciptakan” peristiwa yang diharapkan akan diberitakan media.

Jangan sekali-kali menganggap remeh emosi dan perasaan pemilih. Karena emosi begitu powerfull dan menentukan sukses dalam membangun loyalitas. Contohnya adalah kritik pak AR terhadap Jokowi yang bisa berpotensi berbalik menjadi boomerang.

Meski di “Era Imaging”, bukan lagi penampilan fisik untuk membangun citra, melainkan kamera televise, event dan content. Di Indonesia, pemasaran politik adalah bidang baru yang unik dan tidak mudah. Apa yang dipasarkan bisa saja barang busuk yang tidak dicari orang, layaknya pembalikan pepatah Jawa “wingka katon kencana”. Karena semua yang busuk memang dapat dikemas lewat iklan dan dimanipulasi untuk kepentingan politik lewat media massa.

Namun kita juga berada di “Era Learning”, suatu era dimana kita dengan mudah mempelajari tokoh-tokoh dan track record mereka. Pemasaran politik tidak sama dengan periklanan politik, karena pemasaran politik tidak bisa dijalankan tanpa memeriksa kembali “produk” yang ditawarkan kepada voters market.

Political marketing harus me-review banyak hal mulai dari sikap, kinerja, sampai platform dan visi-misi yang ditawarkan. Produk tidak boleh cacat, maka harus ada quality control dan umpan balik dari pasar lewat regular polling. Seharusnya pemasaran politik menjanjikan “produk politik” yang segar, bermafaat, dan disukai secara berkelanjutan, dan bisa merubah sikap pemimpin agar sesuai kehendak public. Ia bukan layaknya propaganda untuk memanipulasi publik.

Di pihak lain, media memiliki criteria dan kaidah-kaidah jurnalisme sebagai pegangan dalam membingkai peristiwa. Bingkai media dan para calon bisa saja sama, tetapi bisa pula berbeda. Media tertentu tahu apakah peristiwa bernilai sebagai berita bagi public, atau sekadar “peristiwa buatan” untuk menaikkan citra calon.

Dalam situasi banyaknya “peristiwa buatan”, tugs media adalah mengungkapkan kebenaran fakta, baik fakta sebenarnya maupun kebenaran dibalik fakta. Dengan begitu, media bisa memandu public secara benar-benar obyektif dalam upaya menemukan “kebenaran” tentang siapa yang paling layak untuk dipilih.

Share