x

Kasus Pencemaran Nama

Perubahan kebijakan media di Indonesia berjalan seiring terbukanya ruang demokrasi pada awal reformasi politik 1998. Salah satu tonggak penting adalah lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menghapus Surat Izin Penerbitan Pers, sensor serta breidel. Sejak itu, Pers Indonesia memasuki babak baru yang membuka kesempatan luas bagi semua warga mengekspresikan pendapatnya melalui media tanpa takut diberangus penguasa.

Reformasi media semakin dikuatkan melalui Amandemen Kedua terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hasilnya adalah perlindungan konstitusional atas hak warga negara mendapat informasi dan berkomunikasi melalui Pasal 28 F. Tentu, dengan modal jaminan konstitusional ini Pers bisa lebih leluasa bekerja dan bergerak memajukan bangsa.

Sejumlah kebijakan lain soal media juga patut dicatat. Pada 2002, parlemen mengesahkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-undang ini mengakhiri monopoli penyiaran oleh pemerintah serta mengakui eksistensi lembaga penyiaran komunitas. Regulator usaha penyiaranpun ditangani oleh lembaga independen, Komisi Penyiaran Indonesia. Sayang, dalam prakteknya, ketentuan-ketentuan ideal dalam undang-undang ini tidak dijalankan, dipangkas melalui berbagai peraturan lain.

Kebijakan lain, misalnya, pengesahan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Perangkat hukum itu memperkuat jaminan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Selama ini banyak informsi di lembaga pemerintahan tidak dibuka untuk publik dengan alasan rahasia negara. Namun, dengan adanya UU KIP, setiap warga negara berhak mendapat informasi tersebut selama informasi itu tidak diklasifikasikan sebagai bukan informasi publik. Bagi warga negara yang tidak dilayani dalam mencari informasi publik, mereka dapat memperkarakan di Komisi Informasi.

Pada bulan September tahun ini, parlemen baru saja mengesahkan Undang-undang Perfilman. Undang-undang baru ini diharapkan mengakhiri rezim sensor yang sudah puluhan tahun mengekang kebebasan media perfilman. Namun, hasilnya bukan lebih bagus. Rezim sensor masih berlaku bagi industri film. Undang-undang ini malahan membatasi peredaran film asing, mewajibkan pendaftaran setiap tahapan pembuatan film, sertifikasi pekerja film dan serangkaian aturan birokratis lain. Bukan hanya itu, undang-undang ini juga mengatur media penyiaran yang sudah diatur secara rinci pada Undang-undang Penyiaran.

Tersaksikan reformasi kebijakan media di Indonesia tak berjalan kompak. Ada banyak peraturan terkesan tidak pada tempatnya. Misalnya, terdapat sejumlah produk legislasi di bidang non-media yang berisi pasal-pasal mengatur media. Sialnya, pasal-pasal itu justru menegasikan prinsipprinsip demokratisasi media. Kita mencatat sepasang Undang-undang Pemilu, yaitu UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, serta UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Kedua undang- 9 kata pengantar undang itu memiliki sejumlah pasal yang mengatur media, termasuk pers.

Pasal-pasal itu melarang pemberitaan di hari tenang, dan mengancam bredel bagi media pers yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Ada juga UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-undang ini mengatur juga media massa, dan mengancam hukuman penjara sampai belasan tahun bagi praktisi media yang menerbitkan materi pornografi. Juga Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang itu semestinya mengatur e-commerce, tapi rupanya masih mengandung pasal-pasal terkait media, seperti informasi yang mengandung pencemaran nama, berita bohong dan sebagainya. Ancaman hukumannya sangat berat, sampai enam tahun penjara.

Disamping itu, pembahasan Rancangan Undang-undang Rahasia Negara juga menuai banyak kritik dari komunitas pers. Soalnya, bidang yang diatur Rancangan ini adalah dokumen negara. Tetapi, terdapat juga pada aturan yang dibuat pada Rancangan itu semacam hasrat mengatur media, dengan memuat pasal-pasal mengenai media. Sejumlah pasal itu membatasi pencarian informasi, dan penyebaran informasi yang diklasifikasikan rahasia. Pelakunya pun diancam hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati.

Selain itu, saat ini pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. RKUHP diharapkan mengganti kitab lama warisan penjajah berisi ancaman hukuman yang kejam dan taks sesuai konstitusi kita. Namun, alih-alih menjadi kitab lebih demokratis, RKUHP malah berisi 63 pasal yang dapat digunakan memenjarakan jurnalis.

Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa reformasi kebijakan media di Indonesia tidak dilakukan secara komprehensif. Peraturan-peraturan demokratis mengenai media, dengan mudahnya dinegasikan melalui peraturan-peraturan lain. Akibatnya, reformasi kebijakan media menemui jalan buntu.

Untuk mendorong lebih lanjut proses reformasi kebijakan media, Aliansi Jurnalis Independen telah melakukan riset dan serangkaian diskusi. Riset dan diskusi tersebut dituangkan dalam tiga buku seri Reformasi Kebijakan Media.

Pertama, buku “Membangun Benteng Kebebasan”. Buku ini adalah hasil riset dan diskusi kelompok terfokus selama lima kali di Jakarta. Buku tersebut mengupas sejumlah peraturan membahayakan kebebasan pers, strategi pers menghadapi jerat hukum, kekerasan terhadap pers, kelemahan Undang-undang Pers, hingga rencana aksi untuk reformasi kebijakan media ke depan.

Buku kedua adalah “Kumpulan Kasus Pencemaran Nama”. Buku ini adalah kumpulan kasus-kasus pencemaran nama. Ada sepuluh kasus diseleksi dan diulas dalam buku ini. Penyusunan buku ini menggunakan teknik penyusunan case book. Diharapkan, dengan model itu, jurnalis dan praktisi hukum bisa memahami kasus-kasus pencemaran nama secara lebih komprehensif.

 

Buku
kasuspencemarannama.pdfDownloaded 1315 times
Share