x

Upah Layak Jurnalis

Dalam 10 tahun ini, perkembangan industri media di Indonesia menunjukkan gejala yang menggembirakan. Sebagai sebuah industri, media tumbuh cukup pesat, yang itu bisa dilihat melalui pertambahan jumlah medianya . Jika di tahun 1997 baru ada 289, dua tahun berikutnya jumlahnya bukan hanya bertambah, tapi meledak: menjadi 1.687 media. Jumlah itu tiap tahun memang mengalami penyusutan, dan menjadi 1.076 di tahun 2010. Namun, jumlah itu tentu saja masih empat kali lebih banyak dari semasa Orde Baru. Dari segi oplah, tren yang statistiknya bisa dibaca di data Serikat Perbit Suratkabar tiap tahun menunjukkan pertumbuhan.

Pertumbuhan radio, TV, dan belakangan media berita online, juga menunjukkan pertumbuhan yang sama. Pada 1998, hanya terdapat 850 stasiun radio. Setelah 10 tahun berselang, Departemen Komunikasi dan Informatika mencatat 2.425 permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).

Hanya saja, pertumbuhan di bidang industri ini kurang diikuti oleh aspek kesejahteraan bagi pekerjanya. Jika jumlah media dan oplah dalam kurun waktu 10 tahun ini ada peningkatan siginifikan, tapi tidak demikian halnya dengan kesejahteraan jurnalisnya. Setidaknya, itulah yang bisa dibaca dari hasil survei AJI pada akhir UPAH LAYAK JURNALIS 8 Desember 2010 sampai Januari 2011. Survei itu menemukan bahwa jurnalis diupah rendah itu masih sangat banyak, bahkan ini terjadi di kota besar, seperti Medan, Bandar Lampung, dan Kupang. Di Palu, ibukota Sulawesi Tengah, malah ada yang mendapatkan gaji Rp 300 ribu sebulan.

Fakta-fakta ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Sebab, penelitian yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, baik yang diselenggarakan AJI Surabaya di tahun 2000, AJI Indonesia di tahun 2005, dan Dewan Pers di tahun 2008, memberikan gambaran lebih kurang serupa. Semua itu hanya memperkuat fakta bahwa kesejahteraan jurnalis, secara rata-rata, masih kurang menggembirakan. Bukannya tak ada jurnalis yang mendapat upah yang pantas, sesuai standar AJI, di mana jurnalis baru bisa mendapatkan upah layak seperti jurnalis di Jakarta Globe, Bisnis Indonesia dan Kompas. Tapi, media yang lebih kecil jumlahnya lebih banyak daripada yang memiliki modal kuat.

Ini tentu saja sangat ironis. Sebab, sebagai pilar penting dari industri media, nasib jurnalis harusnya mendapat perhatian yang pantas dari pelaku industri media. Apalagi jika mengingat beban yang dipikulkan undang-undang kepada pekerja media, yaitu menjadia alat kontrol sosial, selain menjalankan fungsi pendidikan dan hiburan. Dengan beban tanggungjawab yang besar, sangatlah pantas jika ada tuntutan bahwa kesejahteraannya diberi bobot yang sepadan.

Bagi AJI, perjuangan soal upah layak untuk jurnalis ini merupakan bagian dari kampanye kesejahteraan jurnalis. Sebab, AJI punya keyakinan yang sangat kuat bahwa kesejahteraan jurnalis punya korelasi langsung dan signifikan dengan profesionalisme. Kesejahteraan yang layak memang bukan jaminan bahwa wartawan bisa bersikap profesional. Tapi, kesejahteraan yang memadai memiliki peluang besar untuk jurnalis agar lebih bersikap profesional, dan menjalankan amanahnya seperti disebutkan sangat jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Bagi AJI, program yang terkait soal kesejahteraan jurnalis tak kalah dalam soal prioritas dengan isu kebebasan pers dan profesional- 9 isme. Sebab, ketiganya saling berkelindan. Sikap mengabaikan salah satu dari ketiga sisi itu bukan hanya ahistoris, tapi juga tak bijak. Sebab, keterkaitan antara ketiganya cukup erat. Bisakah kebebasan pers didapat, dan dipertahankan, jika jurnalis yang bekerja di media tak mendapatkan kesejahteraan? Bisakah jurnalis bersikap profesional jika kebutuhan hidupnya tak terpenuhi secara layak?

Ada sejumlah cara yang dilakukan AJI untuk menaikkan isu ini ke permukaan, dan diharapakan dapat menyedot perhatian lebih serius bagi media. Salah satunya adalah melalui dorongan kepada media untuk membentuk serikat pekerja. Dengan berserikat, ada harapan bahwa kesejahteraan yang mereka dapat bisa lebih baik. Sebab, ada lembaga khusus yang bisa menjadi wadah untuk menuntut dan memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja.

 

Buku
upahlayakjurnalis.pdfDownloaded 6801 times
Share