AJI Surakarta: Cabut Aturan Pengambilan Foto dan Rekaman di Persidangan dalam SEMA
Langkah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran No 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan menimbulkan permasalahan baru. Surat Edaran MA (SEMA) tersebut memuat aturan pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri.
Aturan tersebut tertera dalam Tata Tertib Umum poin ke-3. Dalam Tata Tertib Persidangan, pelaksanaan aturan tersebut kemudian dipertegas ancaman pemidanaan pada poin ke-8. Ancaman itu berbunyi "dalam hal pelanggaran tata trtib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya".
Aturan ini jelas berpotensi menjadi hambatan baru bagi jurnalis dalam menjalankan tugas. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta menilai selain akan menghambat tugas jurnalistik, aturan ini juga bertentangan dengan hak publik mendapatkan informasi di pengadilan.
Aturan ini bertentangan dengan jaminan kebebasan pers dalam Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (3) UU Pers menyebutkan "untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi".
Dengan jaminan UU Pers, maka semestinya tidak ada aturan lain yang menghambat pers mencari dan memperoleh informasi. Bahkan pasal 19 UU Pers menyebutkan tindakan yang menghambat atau menghalangi tugas pers mencari dan menyebarkan informasi bisa dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp500 juta.
Dengan demikian MA telah membuat aturan yang bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Apalagi ancaman pidana seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan aturan seperti SE Mahkamah Agung.
Selain bertentangan dengan UU Pers, aturan dalam SEMA ini juga tidak sejalan dengan prinsip persidangan yang terbuka untuk umum. Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Persidangan yang terbuka adalah hak bagi masyarakat, termasuk terdakwa, agar proses yang berlangsung jelas, terang dilihat, dan diketahui masyarakat. Tidak boleh persidangan berlangsung gelap dan bisik-bisik.
Dengan adanya syarat memfoto dan merekam persidangan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri, jurnalis tak bisa bebas melakukan tugasnya. Ketua pengadilan bisa saja menolak memberikan izin dengan berbagai alasan dan kepentingan.
Oleh karena itu, AJI Surakarta menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak aturan yang melarang memfoto, merekam suara atau gambar, dan liputan, tanpa seizin ketua pengadilan.
2. Mendesak MA untuk segera mencabut larangan yang tertera dalam poin ke-3 Tata Tertib Umum SE Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Sidang.
3. Mengimbau kepada pihak manapun untuk tidak mengeluarkan aturan yang bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers seperti dijamin dalam UU No 40/1999 tentang Pers.
Surakarta, 28 Februari 2020
Ketua AJI Surakarta
Adib M Asfar
Sekretaris
Chrisna Chanis Cara
- 90 kali dilihat