x

Berita Perceraian Sherina Singgung LGBT, AJI: Hentikan Sensasionalisme dan Pengabaian Kode Etik

Jakarta- Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI Indonesia) memantau belasan media online yang mengabaikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam memberitakan perceraian penyanyi Sherina Munaf dan suaminya, Baskara Mahendra. Pemberitaan yang bersifat opini itu menghubungkan perceraian Sherina dengan cuitannya di twitter atau X tentang dukungan terhadap Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender atau LGBT. Berita lainnya juga menyinggung soal orientasi seksual Sherina dan Baskara, yang semestinya bersifat privat tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik.

Pemberitaan yang dihubungkan dengan orientasi seksual tidak menghormati keberagaman identitas gender, mengabaikan pentingnya inklusivitas terhadap kelompok minoritas berbasis identitas gender. Pemberitaan seperti itu semakin mempertebal stigma terhadap kelompok minoritas gender dan seksual yang berujung pada perlakuan diskriminatif.

Dari belasan pemberitaan media massa yang dipantau, ada kecenderungan mencampuradukkan opini dan fakta. Media juga tidak konfirmasi dengan narasumber karena hanya menyadur dari sumber di media sosial. Bahkan, hanya dari komentar-komentar warganet di akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai kode etik jurnalistik.

Pemberitaan itu misalnya ada yang mengaitkan cuitan Sherina Munaf yang mendukung LGBT pada akun twitternya dengan perceraian. Itu merupakan opini yang bersifat menghakimi. Selain itu, pemberitaan perceraian Sherina Munaf yang bersifat privat tidak berhubungan dengan kepentingan publik. Menikah, bercerai merupakan hak seseorang apapun latar belakangnya. Setiap orang harus menghormati pilihan itu, termasuk jurnalis yg meliput dan menulis berita.

AJI mengidentifikasi sejumlah pasal yang diabaikan oleh sejumlah media massa. Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Cara-cara profesional yang dimaksudkan yaitu menghormati hak privasi.

Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik berbunyi wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kehidupan pribadi menyangkut kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Pasal 3 berbunyi wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara seimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Menguji informasi berarti mengecek secara berulang kebenaran informasi. Opini yang menghakimi merupakan pendapat pribadi wartawan. Asas praduga tak bersalah merupakan prinsip tidak menghakimi seseorang.

Jurnalis hendaknya juga menghormati keberagaman identitas gender dalam memproduksi karya jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Dewan Pers telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman pada akhir Tahun 2023. Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers menetapkan ruang lingkup keberagaman sebagai segala yang berkaitan dengan perbedaan identitas suku, agama, ras, antar golongan, dan gender.

Wartawan dalam mengawal fakta keberagaman wajib menghargai kebhinekaan yang telah diatur dalam Pasal 8 Kode Etik jurnalistik (KEJ). Pers perlu memiliki sikap hormat terhadap keberagaman yang tercermin mulai dari pemilihan ide, pelaksanaan liputan hingga penulisan berita.

Dasar pemberitaan sesuai pedoman tersebut yakni jurnalis menggunakan prinsip-prinsip HAM dan gender, taat kode etik, dan mengutamakan kemanusiaan. Dalam memilih topik liputan jurnalis seharusnya mempelajari latar belakang, memperhatikan dampak, dan menghormati kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik.

Pemberitaan media massa tersebut akan mempengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat terhadap kelompok minoritas, salah satunya minoritas gender dan seksual. AJI Indonesia mendorong jurnalis menghasilkan karya jurnalistik yang memperhatikan keadilan dan kesetaraan bagi semua kelompok, termasuk minoritas gender dan seksual. Melalui narasi yang lebih berimbang dan berkeadilan, jurnalis bisa membangun masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap suara didengar dan dihargai tanpa prasangka.

Pemberitaan yang tidak menghormati keberagaman identitas gender semakin memperkuat stigmatisasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Dampaknya memicu ujaran kebencian yang bisa menjalar menjadi perbuatan yang bersifat diskriminatif dan menghukum kelompok minoritas gender dan seksual. Pemberitaan media massa kerap menjadi dasar pengambilan kebijakan pemerintahan.

Segala bentuk ujaran kebencian dan perbuatan yang diskriminatif membuat kelompok minoritas gender dan seksual makin terpinggir dan kehilangan hak dan kesempatannya untuk berperan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Jurnalis memiliki kemampuan untuk mengubah persepsi masyarakat sehingga berbagai stigmatisasi, stereotip, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual bisa dihindari.

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjamin setiap orang mendapat perlakuan sama dalam menjalankan agama atau keyakinan dan mengekspresikan dirinya. Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam pemberitaannya, pers berkewajiban untuk menghormati hak tersebut, termasuk suku, agama, ras dan antar golongan dan gender secara adil dan setara.

AJI Indonesia mendorong agar media massa menghindari pemberitaan yang bersifat sensasionalisme dengan melakukan objektifikasi perempuan dan menjadi perpanjangan tangan dari diskriminasi berbasis gender. AJI Indonesia juga mengingatkan perusahaan media untuk menaruh perhatian serius terhadap liputan isu-isu bertema kelompok minoritas yang memperhatikan Kode Etik Jurnalistik. Selain itu, Dewan Pers hendaknya juga lebih aktif menyosialisasikan pedoman pemberitaan isu keberagaman supaya media massa punya persepektif yang adil terhadap kelompok minoritas berbasis identitas gender.

AJI memiliki sejumlah buku panduan bagi jurnalis untuk meliput kelompok minoritas, salah satunya minoritas gender dan seksual: https://aji.or.id/system/files/2024-08/panduan-jurnalisme-untuk-melawan-ujaran-kebencian-terhadap-kelompok-minoritas-gender-dan-seksual.pdf.

Masyarakat yang menemukan pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik bisa melapor ke Dewan Pers. Caranya, masuk ke situs web dewanpers.or.id. Klik laman data pengaduan, unduh formulirnya melalui https://dewanpers.or.id/datapengaduan/form, lalu kirim formulir pengaduan yang sudah diisi ke alamat pengaduan@dewanpers.or.id.

 

Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida

Kontak yang bisa dihubungi:

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia,

Shinta Maharani

Hotline: +62 811-1137-820

Share