Mahkamah Konstitusi Indonesia Batalkan Pasal Berita Bohong dan Pencemaran Nama Baik di Peraturan Pidana
Indonesia–Mahkamah Konstitusi RI membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-uang Hukum Pidana.
Pasal-pasal tersebut menurut hakim Mahkamah Konstitusi tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Indonesia.
Putusan tersebut dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi pada Kamis 21 Maret 2024. Gugatan judicial review itu diajukan oleh dua pembela hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti, serta dua organisasi yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Khusus mengenai pasal berita bohong, menurut hakim Konstitusi, pasal tersebut ambigu karena tidak memiliki parameter yang jelas sehingga dapat membatasi hak setiap orang untuk berpendapat. Penggunaan kata keonaran dalam pasal itu juga berpotensi menimbulkan multitafsir karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda.
Definisi berita bohong yang tidak jelas tolok ukuran, berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku tanpa mengidentifikasi apakah pelaku menyebarkan berita palsu dengan sengaja atau dalam konteks memberikan kritik yang bersifat konstruktif.
“Dengan demikian, masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk berpendapat sebagai bentuk partisipasi publik dalam kehidupan berdemokrasi,” kata hakim Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi juga menilai sesuai Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Prinsip-prinsip Siracusa, pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak asasi dan harus ditafsirkan secara tegas dan jelas serta ditujukan untuk menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
Judicial Review itu diajukan setelah Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti, dua penggiat hak asasi manusia, dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dan pasal berita bohong. Mereka dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), setelah keduanya menyampaikan hasil riset dugaan kepemilikan saham milik Menteri Luhut pada bisnis tambang di Intan Jaya, Papua lewat siaran podcast di Youtube. Keduanya telah divonis bebas di Pengadilan tingkat pertama di Jakarta.
Pasal berita bohong dan pencemaran nama baik selama ini menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Pasal-pasal itu telah disalahgunakan untuk mengkriminalisasi penggiat hak asasi manusia, jurnalis, dan kritik lainnya. Diolah dari data SAFEnet sejak 2020-2023, terdapat 32 kasus pasal berita bohong dan 14 kasus Pasal 310 KUHP.
Pasal berita bohong mulai digunakan pada Pemilu 2019 dan makin marak pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19.
Salah satu kasus penyalahgunaan pasal berita bohong telah menjerat 3 petani Pakel di Banyuwangi, Jawa Timur yakni Suwarno, Mulyadi, dan Untung pada 2023. Ketiganya dipenjara dan divonis bersalah dengan dalil menyebarkan berita bohong setelah berjuang mempertahankan tanahnya dari korporasi.
Ketua Umum AJI indonesia Sasmito, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sangat penting bagi kebebasan pers sehingga AJI terlibat dalam gugatan tersebut. AJI Indonesia mencatat terdapat 4 jurnalis yang pernah dijerat oleh polisi dan jaksa penuntut umum dengan mengaitkan pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik dengan pasal berita bohong.
Setelah Pemilu 2019, pasal berita bohong makin sering digunakan oleh pejabat publik dan menjadi cara baru merepresi warga di era digital. Pasal itu memuat hukuman penjara 10 tahun bagi siapa pun yang kritik dan beritanya dianggap sebagai hoaks.
“Dengan dalih melawan berita bohong, aktor negara dan aktor non-negara menyalahgunakan pasal tersebut untuk merepresi kritik di ruang digital. Padahal pasal berita bohong di UU Nomor 1 Tahun 1946 itu lahir satu tahun setelah Indonesia merdeka yang saat itu tentu saja belum ada internet,” kata Sasmito.
Dengan dihapusnya pasal berita bohong dan defamasi di peraturan pidana tersebut, Sasmito mendesak agar DPR RI dan pemerintah mencabut pasal-pasal sejenis yang diadopsi ke dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik perubahan kedua serta KUHP baru yang akan berlaku pada 2026. Sasmito mengatakan masalah berita bohong seharusnya diselesaikan dengan mengintensifkan literasi digital ke dalam pendidikan, mendorong platform media sosial meningkatkan moderasi konten, menjamin akses informasi yang transparan, dan meningkatkan kualitas jurnalisme.
Selain itu terkait defamasi, sudah seharusnya pemerintah Indonesia melakukan dekriminalinalisasi seperti yang telah dilakukan di 50 negara.
Menurut salah satu kuasa hukum Pemohon, Feri Amsari dari Themis Indonesia, Putusan MK kali ini patut diapresiasi sebagai upaya menegakkan jaminan kebebasan menyampaikan dan mengelola informasi melalui berbagai media yang digunakan masyarakat sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945. Sehingga menurut Feri segala kasus kriminalisasi warga negara yang menggunakan ketentuan Pasal 14 dan 15 dari UU Nomor 1 Tahun 1946 harus dibatalkan dan tidak boleh lagi digunakan aparat penegak hukum. “Ketidakpatuhan terhadap Putusan MK adalah tindakan melawan konstitusi,” kata Feri.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan sedikit harapan terkait perlindungan terhadap kebebasan sipil di Indonesia. Putusan tersebut seharusnya menjadi preseden dan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi ke depan untuk membatalkan pasal-pasal ambigu yang masih terdapat dalam KUHP Baru dan UU ITE terbaru, jika diuji di masa mendatang.
Keputusan ini juga perlu dijadikan landasan pemikiran bagi hakim di peradilan umum dan aparat penegak hukum bahwa pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menekan kritik yang disampaikan oleh masyarakat.
Berikut ini adalah jurnalis yang pernah dijerat dengan pasal berita bohong:
2019
Dandhy Dwi Laksono
Anggota AJI, pendiri WatchdoC dan sutradara film dokumenter Dirty Vote, Dandhy Dwi Laksono, pernah ditangkap dan menjadi tersangka setelah menyampaikan informasi mengenai aksi anti rasisme di Papua di Twitter pada 22 September 2019. Ia dijerat dengan pasal ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 No.1 tahun 1946 tentang hukum pidana.
2020
Farid Gaban
Setelah menyampai kritik tentang koperasi dan UMKM lewat Twitter pada 2020, jurnalis Farid Gaban pernah dilaporkan oleh Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid. Muannas menjerat Farid dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE atau Pasal 207 KUHP dan/atau Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Sumber: https://tirto.id/kasus-farid-gaban-pemberangusan-kritik-warga-negara-fDED
2021
Muhammad Asrul
Jurnalis berita.news di Palopo, Sulawesi Selatan, Muhammad Asrul dilaporkan setelah menulis tiga berita tentang dugaan korupsi pada 2019. JPU mendakwa Asrul dengan dakwaan berlapis yakni: menyiarkan berita bohong dengan Pasal 14 ayat (1) UU RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Tindak Pidana ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2) atau Tindak Pidana Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat 3 UU ITE.
Asrul kemudian divonis bersalah melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan dijatuhi hukum 3 bulan penjara.
2022
Muhammad Irvan S, jurnalis Timurterkini.com ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara, pada 9 Mei 2022 setelah menulis tentang pajak seorang pengusaha. Polisi menjerat Irvan dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada UU ITE.
- 4942 kali dilihat