Perempuan dan Rakyat Bersatu Membangun Kekuatan Politik Alternatif, Tolak Dinasti Politik dan Lawan Rezim Oligarki
Telah seabad lewat, Hari Perempuan Internasional diserukan setiap 8 Maret. Seluruh rakyat terutama perempuan di seluruh dunia, turun ke jalan menyerukan perjuangan-perjuangan perempuan atas hak ekonomi dan politik yang setara, serta pembebasan terhadap berbagai belenggu ketidakadilan dan penindasan. Situasi ketidakadilan dan penindasan perempuan dari masa ke masa terjadi dan berdampak pada multisektor. Bahkan eksploitasi dan penindasan perempuan di berbagai sektor, mulai dari politik ekonomi global, perburuhan, masalah agraria dan lingkungan, kekerasan seksual, kebebasan berekspresi, pendidikan, hingga pemenuhan hak asasi perempuan terus berlangsung, dipertahankan secara sistematis oleh negara.
Penindasan perempuan berakar pada cengkraman imperialisme yang diwujudkan melalui oligarki sebagai kepanjangan tangan di nasional, dampaknya, tak hanya membentuk sistem ekonomi politik eksploitatif tetapi juga menggunakan gagasan patriarkis untuk membangun struktur hierarki kuasa yang disusun berdasarkan identitas gender, ras, kelas, disabilitas dan agama. Saat ini struktur kuasa tersebut di formalisasi melalui berbagai institusi internasional seperti Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), serta berbagai perjanjian ekonomi atau perdagangan antarnegara. Kekuatan tersebut kemudian dibarengi kelindan kepentingan antara korporasi besar dengan negara dan aparat bersenjatanya.
Masa penjajahan seringkali dianggap telah usai, namun di Palestina perempuan dan rakyat dicerabut kehidupan dan identitas bangsanya melalui genosida yang dilakukan oleh rezim apartheid Zionis. Perempuan palestina menderita akibat krisis air dan pembalut, terpaksa meminum pil penunda menstruasi, dan minim akses bersalin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan hingga 29 Februari 2024, terdapat 30 ribu masyarakat sipil yang tewas, dengan 70% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak (UN Women). Hal serupa juga terjadi di Ukraina akibat dari invasi Rusia yang berambisi untuk menguasai wilayah tersebut. Di tengah kekerasan dan penindasan yang mereka alami, perempuan menjadi aktor penting dalam gerakan melawan penjajahan (Elia, 2023). Pembebasan dari pendudukan dan genosida tidak akan terjadi tanpa pembebasan perempuan.
Setelah banyak negara terbentuk, invasi dan pendudukan tidak lagi hanya dilakukan oleh kekuatan militer asing tetapi juga korporasi multinasional (Davy, 2023). Bentuk cengkeraman korporasi salah satunya dapat dilihat melalui kebijakan yang disusun oleh negara berdasarkan kesepakatan dalam perundingan rezim perdagangan bebas seperti WTO. Liberalisasi pertanian, perikanan dan monopoli korporasi atas akses kesehatan yang didorong dalam WTO telah memperparah situasi penindasan perempuan khususnya di negara berkembang. Ironisnya WTO kemudian menyusun inisiatif perdagangan untuk “pemberdayaan perempuan” yang mereduksi peran perempuan semata-mata hanya untuk berkontribusi pada angka pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari korporasi dan mengabaikan ketimpangan yang mereka sebabkan.
Di Indonesia, organisasi pergerakan perempuan yang turut memperjuangkan kemerdekaan nasional melawan penjajahan/kolonialisme dihancurkan oleh kekuasaan rezim militer orde baru yang dipimpin Soeharto. Menggunakan politik seksual, gerakan perempuan, bersama buruh dan tani dihabisi. Selama 32 tahun orde baru berkuasa, mayoritas perempuan Indonesia kembali mengalami kekerasan. Meski reformasi telah terjadi, para pelakunya tak kunjung diadili, mengakibatkan trauma berkepanjangan yang berdampak pada depolitisasi kaum perempuan. Sejak saat itu, belum kita temui lagi organisasi pergerakan perempuan yang besar di Indonesia. Dengan demikian penindasan perempuan semakin merajalela.
Rilis lengkap dapat dibaca pada dokumen berikut.
- 106 kali dilihat