Skor Kebebasan Pers di Asia Pasifik Melorot
Palembang- Skor kebebasan pers di kawasan Asia Pasifik menurun berdasarkan temuan Reporters Without Borders pada 2024.
Situasi kebebasan pers yang makin memburuk itu muncul pada Konferensi Kebebasan Pers Aliansi Jurnalis Independen, rangkaian Kongres AJI XII yang berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan pada 3-5 Mei 2024.
Manajer Pengembangan dan Proyek Biro Asia Pasifik Reporters Without Borders, Shataakshi Verma berbicara dalam Hari Kebebasan Pers Internasional yang diperingati setiap 3 Mei. Dia menyebutkan Situasi kebebasan pers semakin memburuk di kawasan Asia-Pasifik, di mana 26 dari 32 negara mengalami penurunan skor dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2024. Pemerintahan diktator yang semakin memperketat kendali terhadap berita dan informasi menambah stagnasi indeks kebebasan pers.
Tiga jurnalis terbunuh dan setidaknya 25 jurnalis ditahan di Afganistan. Negara tersebut menempati peringkat 178, turun 26 peringkat. Korea Utara berada pada peringkat 177 dan Tiongkok pada peringkat 172. Adapun, Vietnam berada pada peringkat ke-174 dan Myanmar pada peringkat ke-171. "Pemerintah kedua negara itu menerapkan kebijakan pemenjaraan massal terhadap pekerja media," kata Shataakshi Verma melalui zoom.
Vietnam dan Myanmar paling banyak memenjarakan jurnalis, berada pada posisi keempat dan kedua di dunia. Kamboja berada pada peringkat 151 sebagai salah satu negara yang diberi warna merah tua pada peta kebebasan pers karena situasi mereka tergolong sangat serius. Pada tahun 2023, dua jurnalis dibunuh di Filipina yang berada pada peringkat 134. Filipina terus menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi para jurnalis.
Pemilu juga menunjukkan situasi kekerasan terhadap jurnalis meningkat di beberapa negara. Tiga jurnalis dibunuh di Bangladesh, berada pada peringkat ke-165. Jumlah penahanan sewenang-wenang dan penghilangan paksa terhadap jurnalis juga meningkat di Pakistan, berada pada peringkat ke-152. Adapun, jurnalis Indonesia menjadi sasaran serangan fisik dan online di Indonesia. Indonesia berada pada urutan ke-111 atau turun 4 peringkat.
RSF juga menyoroti berbagai aturan yang memusuhi kebebasan pers. Contohnya di India dan Hong Kong. Skor kebebasan pers Hong Kong menurun karena imbas Undang-Undang Keamanan Nasional Beijing. Sensor juga kembali diterapkan di beberapa negara. Di Korea Selatan yang berada pada peringkat ke-62, pemerintah mengancam sejumlah media atas tudingan pencemaran nama baik. Situasi yang sama terjadi di Mongolia, berada pada peringkat 109. Adapun, situs berita yang kritis terhadap pemerintah kerap diblokir di Malaysia, pada peringkat 107.
Menurut dia tidak ada negara di kawasan Asia-Pasifik yang masuk dalam 15 besar Indeks tahun ini. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan enam peringkat oleh Selandia Baru (peringkat ke-19), yang tetap mempertahankan posisinya sebagai pemimpin di kawasan ini. Meskipun mengalami tantangan terhadap hak atas informasi, negara-negara demokrasi regional lainnya seperti Timor-Leste peringkat 20, Samoa pada peringkat 22, dan Taiwan pada urutan 27 yang juga masih mempertahankan peran mereka sebagai contoh kebebasan pers.
Jonathan de Santos, Perwakilan Freedom Monitoring in Southeast Asia atau PFMSea Coalition menyebutkan pandemi Covid-19 yang diwarnai dengan informasi palsu menambah buruknya situasi kebebasan pers di Asia Tenggara. Di kawasan ini pelaku kekerasan paling banyak berasal dari kalangan polisi dan tentara. Di Kamboja misalnya jurnalis mengalami intimidasi dan serangan fisik.
pfmsea.org atau Press Freedom Monitoring in Southeast Asia merupakan platform pemantauan yang diperbarui secara berkala dan merupakan bagian dari inisiatif kolaborasi regional yang memantau dan membangun bukti berdasarkan serangan dan ancaman terhadap jurnalis dan pekerja media, di seluruh kawasan Asia Tenggara. Tujuan dari proyek ini adalah untuk memantau serangan terhadap jurnalis dan pekerja media serta situasi kebebasan pers. Selain itu sebagai sistem peringatan dini yang memungkinkan respons yang tepat sasaran dan sensitif terhadap waktu. Basis data itu memperkuat analisis dan mengembangkan praktik yang baik mengenai sistem dan dukungan yang efektif terhadap kebebasan pers.
Selain itu koalisi itu memobilisasi advokasi dukungan regional dan internasional untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap kewajiban Hak Asasi Manusia internasional mereka dalam melindungi kebebasan pers. “Organisasi jurnalis perlu terus melakukan aksi-aksi kolektif dan kolaborasi untuk melawan serangan terhadap jurnalis,” kata Shataakshi
- 252 kali dilihat