x

Jejak Jurnalis Perempuan

Di banyak tempat dan waktu, perempuan itu seperti kelompok masyarakat tertinggal. Pengaturan perempuan hanya pada sektor yang sesuai dengan kodrat biologis, sistem kepercayaan, dan budaya tertentu, memunculkan ketimpangan atau ketidakadilan gender.

Kondisi yang timpang pun terjadi dalam dunia media dan profesi jurnalistik. Perempuan seakan dinomorduakan, sehingga berdampak pada masalah kesejahteraan dan keadilan sosial. Hasil survei Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia 2012, menunjukkan fenomena itu.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan masih kalah dibandingkan laki-laki. Data menunjukkan, dari 10 jurnalis, hanya ada 2 sampai 3 jurnalis perempuan. Atau dari 1000 jurnalis, 200-300 adalah perempuan, selebihnya jurnalis lakilaki. Mungkin hanya di Jakarta komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki mencapai 40 berbanding 60. Di luar kota Jakarta, terutama di kota-kota madya, ketimpangan jumlah jurnalis perempuan dan laki-laki sangat terasa dan memprihatinkan.

Begitupun dengan status kekaryawanan. Data survei AJI menunjukkan, sekitar 60 persen jurnalis perempuan bekerja sebagai pekerja kontrak, sisanya atau 40 persen berstatus karyawan tetap. Yang mengejutkan, jumlah pekerja perempuan bestatus kontrak justru lebih banyak (60-65 persen) di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar.

Jumlah sumber daya manusia yang tertinggal berdampak kepada kedudukan jurnalis perempuan di ruang redaksi atau newsroom. Data survei AJI menunjukkan, hanya 6 persen jurnalis perempuan yang duduk sebagai petinggi redaksi. Artinya 94 persen atau mayoritas jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter atau bukan pengambil keputusan redaksional. Kecilnya jumlah jurnalis perempuan dalam redaksi, membuat banyak kebijakan media kurang ramah terhadap kebutuhan perempuan, termasuk dalam tugas peliputan dan masalah pengupahan.

Dari survei ini ditemukan, banyak jurnalis perempuan belum menikah agar kesejahteraannya bisa setara dengan jurnalis laki-laki. Di luar itu, kesadaran tentang kesetaraan gender di kalangan jurnalis perempuan pun masih rendah. Yakni hanya 17 persen jurnalis perempuan yang pernah mengikuti pelatihan isu gender, sehingga kesadaran tentang masalah kesetaraan gender perlu ditingkatkan.

Dari gambaran di atas muncul kesan, dunia media dan profesi jurnalistik itu macho alias dunianya kaum laki-laki. Dari daftar nama jurnalis yang dikenal publik sebagian besar pasti laki-laki. Adapun bagi pekerja perempuan, mereka biasanya ditempatkan sebagai presenter studio yang adem, atau sebagai redaktur yang duduk manis di belakang seperangkat komputer. Dalam industri televisi, pekerja perempuan biasanya lebih dekat ke peralatan kecantikan (make-up) ketimbang ke peralatan liputan, dimana profesi sebagai presenter dianggap lebih prestisius dibandingkan jurnalis perempuan di lapangan.

Sisterhood dan Pengorganisasian Perempuan

Disinilah pentingnya jurnalis perempuan berkelompok dan membentuk solidaritas profesi bagi perbaikan kondisi kerja dan kesejahteraan jurnalis secara umum. Dimulai dengan memperbanyak jumlah jurnalis perempuan, mengangkat berbagai isu perempuan secara profesional dan beretika, membangun kesadaran bersama tentang berbagai masalah antar jurnalis perempuan, sampai memperkuat serikat-serikat kerja media bagi kesejahteraan jurnalis secara umum.

Buku ini adalah sebuah langkah kecil dari upaya besar AJI, khususnya dalam hal menguatkan peran jurnalis perempuan dalam dunia media dan jurnalistik modern. Divisi Perempuan AJI telah memulai sebuah survei sederhana, semoga ini bisa menjadi acuan bagi program-program penguatan peran jurnalis perempuan ke depan secara konkret dan lebih strategis.

 

Buku
jejakjurnalisperempuan.pdfDownloaded 463 times
Share