x

RUU Penyiaran Harus Akomodir Hak Publik

Sejumlah elemen masyarakat sipil mendorong agar Rancangan Undang-Undang (Penyiaran) menjadi UU yang baik bagi penyiaran di Indonesia. Tak hanya itu, draf RUU Penyiaran juga tak boleh menghilangkan peran lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) serta mengakomodasi hak publik.

Ketua KPID DIY, Sapardiyono mengatakan RUU Penyiaran yang masuk Program Legislasi Nasional sejak 2015 telah mengalami beberapa kali perubahan draf. Mulai dari September 2015, Februari dan Agustus 2016, serta Februari 2017. 

"Tapi meski UU itu kepentingan publik, saat draf RUU Penyiaran diketahui masyarakat malah ada anggota DPR yang menyebut kebocoran," kata Sapardiyono dalam diskusi tentang RUU UU Penyiaran di Hotel Sahid Jaya Jalan Seturan Sleman, Yogyakarta pada Selasa, 23 Mei 2017. 

Ada sejumlah kelemahan dalam draf RUU Penyiaran, termasuk di draf yang muncul pada 2016. Salah satu kelemahan draf RUU Penyiaran tahun 2016 yakni menafikan peran KPID dalam penyiaran. Dalam draf itu KPID hanya diberi kewenangan mengawasi siaran. 

Bagi Sapardiyono, hal itu menjadi kemunduran karena KPID tak diberi kewenangan mengawasi regulasi di daerah. Menurutnya, jika KPID diberi rekomendasi siaran semestinya juga memiliki wewenang dalam merekomendasikan konten siaran. Mengingat, ada sejumlah stasiun televisi di daerah. 

"Ada juga pasal di RUU itu yang menyatakan KPI di daerah dapat dibentuk. Ini menjadi bentuk pelemahan KPID," ungkapnya. 

Meski demikian, Sapardiyono menambahkan, draf RUU Penyiaran versi Februari 2017 sudah lebih baik. Sudah ada sejumlah perbaikan yang bisa mendorong penyiaran meski tak semua. 

Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bambang Muryanto mengatakan RUU Penyiaran harusnya tak sebatas mengatur masalah frekuensi milik publik. Pembahasan RUU Penyiaran harus pula melihat aspek politik ekonomi yang telah masuk bebas di ranah penyiaran. 

Bahkan, Bambang menyebut masuknya modal swasta telah meliberalisasi penyiaran hingga mengeksploitasi jurnalis yang melakukan peliputan. Sebab, ada hasil liputan jurnalis televisi yang tayang di tiga sampai lima media yang masih satu grup perusahaan. 

"Tapi jurnalis hanya digaji seharga satu berita yang dibuat. Ini sudah terjadi eksploitasi terhadap jurnalis. Tidak ada kebebasan pers jika (jurnalis) hidup dengan kemiskinan," ujarnya. 

Selain itu, Bambang juga menyoroti adanya pasal soal pembentukan lembaga penyiaran khusus. Menurutnya, ini bisa mengkhawatirkan karena berpotensi digunakan untuk para bos partai politik membentuk media televisi. 

Ada berbagai aspek yang belum terpenuhi dalam draf RUU Penyiaran, diantaranya minimnya perhatian media radio dan penyiaran televisi yang selama ini belum memperhatikan hal disabilitas, dalam hal ini tunarungu. Tercatat, televisi milik pemerintah yang sejauh ini akrab dengan disertai bahasa isyarat saat menayangkan berita. 

"Masyarakat sipil harus memberikan masukan RUU ini sebagai warga negara. KPID bisa menjadi ujung tombak. Kampus harus ikut mengawal, tak hanya mengisi (sumber daya manusia) di industri televisi tapi juga harus ada masukan kritis," kata dia. 

Direktur Program ADiTV Yogyakarta, Frans Ruffino menambahkan, televisi lokal harus mendapat porsi yang baik dalam RUU Penyiaran. Jujur saya senang KPI dipangkas kewenangannya. Draft terbaru peran KPID memberi sanksi bagi pelaku penyiaran berliku-liku bahkan  melibatkan KPI pusat. Silahkan jika KPID atau KPI dikembalikan lagi wewenangnya agar tak terkesan seperti macan ompong.

“Kita berharap KPI yang lembaganya bagus mampu menjalankan tugasnya dengan baik, agar TV memiliki konten yang bagus dan warga juga tercerahka,” kata Frans.

Share